AKTIVITAS ANTI KANKER EKSTRAK ETANOL DAUN BUAS-BUAS TERHADAP ORGAN REPRODUKSI TIKUS PUTIH
AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK ETANOL DAUN BUAS-BUAS (Premna
cordifolia. Roxb) PADA ORGAN REPRODUKSI TIKUS (Rattus novergicus) BETINA YANG DIINDUKSI
7,12 DIMETILBENZ (α) ANTRASENA
Diajukan untuk Seminar Proposal Penelitian
dalam
Penyusunan Skripsi
Oleh :
Nama : Yuli Hardiyanti
NIM :
4122220013
Program
Studi : Biologi
Jurusan : Biologi
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Kemenkes tahun 2015, Penyakit
kanker adalah penyakit yang timbul akibat pertumbuhan tidak normal sel jaringan
tubuh yang berubah menjadi sel kanker. Penyakit kanker merupakan salah satu
penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta
kematian disebabkan oleh kanker. Kanker paru, hati, perut dan payudara adalah
penyebab terbesar kematian akibat kanker setiap tahunnya. Sekitar 70% kematian
akibat kanker di dunia setiap tahunnya terjadi di Afrika, Asia dan Amerika
Tengah dan Selatan. Diperkirakan kasus kanker tahunan akan meningkat dari 14
juta pada 2012 menjadi 22 juta dalam dua dekase berikutnya. Menurut data GLOBOCAN
(IARC) tahun 2012 diketahui bahwa kanker payudara merupakan penyakit kanker
dengan persentase kasus baru tertinggi, yaitu sebesar 43,3%, dan persentase kematian
akibat kanker payudara sebesar 12,9%.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, penyakit
kanker serviks dan payudara merupakan penyakit kanker dengan prevalensi
tertinggi di Indonesia pada tahun 2013, yaitu kanker serviks sebesar 0,8% dan
kanker payudara sebesar 0,5%. Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Maluku Utara,
dan Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki prevalensi kanker serviks tertinggi yaitu
sebesar 1,5%, sedangkan prevalensi kanker payudara tertinggi terdapat pada
Provinsi D.I. Yogyakarta, yaitu sebesar 2,4%. Untuk wilayah Sumatera Utara
memiliki prevalensi penderita kanker serviks 0,7% yakni dengan jumlah penderita
4.694 jiwa dan prevalensi penderita kanker payudara 0,4% yakni dengan jumlah
penderita 2.682 jiwa (Kemenkes, 2015).
Beberapa faktor
yang mempengaruhi munculnya penyakit kanker adalah. faktor genetik, faktor
karsinogen diantaranya zat kimia, radiasi, virus dan faktor perilaku/gaya hidup
diantaranya merokok, pola makan yang tidak sehat, konsumsi alkohol dan kurang
aktivitas fisik. Beberapa jenis pengobatan kanker yang dilakukan saat ini seperti
pengangkatan jaringan kanker dan kemoterapi, masih dirasakan belum efektif.
Pengangkatan jaringan kanker biasanya dilakukan dengan dan pada umumnya tidak
bisa tuntas menghilangkan kanker karena kemungkinan ada jaringan yang masih
tertinggal dan dapat tumbuh menjadi jaringan kanker baru. Sedangkan kemoterapi
dan penyinaran kurang selektif dalam membunuh sel kanker, seringkali sel normal
juga ikut rusak dan mati. Oleh karena itu perlu diupayakan suatu pengobatan kanker
yang relatif aman (Meiyanto, 1999).
Salah satu usaha yang perlu ditempuh adalah dengan menggali
sumber alam nabati yang telah banyak digunakan oleh masyarakat untuk mengobati
kanker. Mengenai efek suatu bahan sangat erat kaitannya dengan senyawa kimia
yang terkandung dalam bahan tersebut. Beberapa jenis tanaman yang dimanfaatkan
oleh masyarakat sebagai antikanker adalah tomat (Irene, 2012), mahkota dewa
(Sundaryono, 2011), jintan hitam (Rizky, 2013), daun mimba (Mae, 2002), daun
widuri (Muslikhah, 2014), sari buah merah (Abdul, 2006), benalu (Purnomo, 2000).
Beberapa jenis tanaman tersebut memiliki kandungan senyawa flavonoid yang
mempunyai kemampuan untuk menangkap radikal bebas yang menyebabkan kanker
(Syukri, 2008).
Oleh karena itu,
berangkat dari kajian ini penulis mengangkat satu nama tumbuhan yang memiliki
potensi sebagai anti kanker yakni daun buas-buas (Premna cordifolia. Roxb). Pada penelitian sebelumnya oleh Kristina
(2014), yang menyatakan bahwa buas-buas memiliki kandungan senyawa flavonoid,
fenolik, flavonol glikosida, alkaloid dan steroid dapat menurunkan derajat
kerusakan histopatologi paru tikus wistar jantan pasca paparan asap rokok. Maka
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji dari aktivitas
antikanker ekstrak etanol daun buas-buas (premna
cordifolia Roxb.) pada tikus (rattus
novergicus) betina yang diinduksi 7,12 dimetilbenz (α) antrasena.
1.2 Batasan Masalah
Masalah pada penelitian ini dibatasi
pada pengamatan berat badan tikus, posisi nodul, berat nodul, volume nodul, berat
kelenjar mamae, berat ovarium, pengukuran VEGF (Vascular Endhotelial Grwoth Factor) sebagai penanda terjadinya
karsinoma serta pengamatan histologi kelenjar mammae dan ovarium.
1.3 Rumusan Masalah
a. Bagaimana
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap berat badan tikus putih (Rattus novergicus) yang diinduksi 7,12 dimetilbenz (α) antrasena?
b. Bagaimana
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap posisi dan jumlah nodul tikus putih (Rattus novergicus) yang diinduksi 7,12
dimetilbenz (α) antrasena?
c. Bagaimana
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap berat kelenjar mammae dan ovarium tikus putih (Rattus novergicus) yang diinduksi 7,12
dimetilbenz (α) antrasena?
d. Bagaimana
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap kadar VEGF (Vascular
Endothelial Growth Factor) tikus putih (Rattus
novergicus) yang diinduksi 7,12 dimetilbenz (α) antrasena?
e. Bagaimana
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap histologi kelenjar mammae dan ovarium tikus
putih (Rattus novergicus) yang
diinduksi 7,12 dimetilbenz (α) antrasena?
1.4 Tujuan Penelitian
a. Mengetahui
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap berat badan tikus putih (Rattus novergicus) yang diinduksi 7,12 dimetilbenz (α) antrasena.
b. Mengetahui
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap posisi dan jumlah nodul tikus putih (Rattus novergicus) yang diinduksi 7,12
dimetilbenz (α) antrasena.
c. Mengetahui
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap berat kelenjar mammae dan ovarium tikus putih (Rattus novergicus) yang diinduksi 7,12
dimetilbenz (α) antrasena.
d. Mengetahui
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap kadar VEGF (Vascular
Endothelial Growth Factor) tikus putih (Rattus
novergicus) yang diinduksi 7,12 dimetilbenz (α) antrasena.
e. Mengetahui
pengaruh ekstrak daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) terhadap histologi kelenjar mammae dan ovarium tikus
putih (Rattus novergicus) yang
diinduksi 7,12 dimetilbenz (α) antrasena.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Sebagai
informasi tentang khasiat daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) dalam penyembuhan kanker.
b. Meningkatkan
pengkajian senyawa metabolit sekunder khususnya pada ekstrak etanol tanaman buas-buas
(Premna cordifolia. Roxb) sebagai obat tradisional sebagai antikanker.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BUAS-BUAS (Premna cordifolia. Roxb)
Dalam ilmu taksonomi, buas-buas termasuk kedalam family verbenaceae dan
genus premna. Buas-buas adalah
tanaman berupa pohon dengan tinggi 4 – 10 meter. Tanaman ini bercabang, daun berbentuk
bujur telur atau lonjong dan mempunyai anak daun yang banyak, terdapat bulu
pada bagian atas daun, warna bunga putih kelabu berbentuk kapsul sepanjang 7,5 cm
dan lebarnya kira-kira 8 cm, berbiji banyak dan tipis (Ong Heng, 2008).
Tumbuhan ini belum banyak
dikenal dan dimanfaatkan orang dan tumbuhan ini spesifik dimanfaatkan di daerah
Melayu. Tumbuhan ini dimasukkan sebagai bahan utama dalam pembuatan bubur
pedas, bubur khas Melayu yang bernilai religious dan hanya ada dalam bulan
puasa (ramadhan), diyakini bubur pedas dengan daun Buas-buas ini dipercaya
dapat memberikan kekuatan bagi seseorang sehingga akan tetap sehat selama
melaksanakan ibadah puasa. Diketahui bahwa tumbuahan buas-buas memiliki rasa
dan aroma yang khas serta memiliki manfaat yang mampu mengobati asma,
hepatoprotektif dan antitumor (Ruth, 2013). Klasifikasi tanaman buas-buas
adalah :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Spesies : Premna cordifolia. Roxb
Gambar 2.1 Tanaman Buas-buas (Premna cordifolia. Roxb)
2.2 KANDUNGAN KIMIA
BUAS-BUAS
Penelitian kandungan buas-buas pernah dilakukan oleh Ruth
(2013) yang menyatakan bahwa ekstrak etanol 70% dari daun buas-buas mengandung
senyawa yang tergolong alkaloid, flavonoid, saponin, fenolik, dan triterpenoid.
Sedangkan fraksi etanol 70% daun buas-buas mengandung senyawa alkaloid,
flavonoid, saponin dan fenolik. Hilangnya senyawa triterpenoid pada fraksi
etanol 70% daun buas-buas disebabkan oleh adanya proses fraksinasi sehingga
diperkirakan senyawa tersebut tidak tertarik dalam fraksi etanol. Dan senyawa
flavonoid, fenolik, saponin dan alkaloid yang terdapat pada fraksi etanol 70%
daun buas-buas diperkirakan merupakan senyawa yang bertanggung jawab terhadap
aktivitas antioksidan.
Aktivitas antioksidan
pada senyawa flavonoid dan fenolik dikarenakan kedua senyawa tersebut adalah
senyawa-senyawa fenol, yaitu senyawa dengan gugus –OH yang terikat pada karbon
cincin aromatik. Senyawa fenol ini mempunyai kemampuan untuk menyumbangkan atom
hidrogen, sehingga radikal DPPH dapat tereduksi menjadi bentuk yang lebih. Menurut strukturnya flavonoid merupakan
turunan senyawa induk flavon, kebanyakan variasinya berasal dari hidroksilasi
(dan O-metilasi dan pembentukan glukoside) (Richard,1988). Flavonoid ini mempunyai kerangka dasar dengan
15 atom karbon yang tersusun dalam konfigurasi
C6 – C3 – C6 dimana C6 adalah siklik aromatik yang dihubungkan dengan
unit 3 atom karbon yang rantainya dapat membentuk atau tidak siklik pada
struktur flavonoid tersebut (Sirait, 2004).
Dikenal sekitar 10 golongan senyawa flavonoid yaitu antosianin,
proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavon, khalkon, auron,,
flavonon dan isoflavon. Senyawa
flavonoid larut dalam air, dapat diekstraksi dengan alkohol 70 % dan tetap ada
dalam lapisan air. Setelah diekstrak
dikocok dengan eter. Flavonoid terdapat
pada tumbuhan berpembuluh, terikat pada gula sebagai glikosida dengan salah
satu atau lebih kumpulan hidroksil fenolik.
Luteolin dan Apigenin
adalah senyawa metabolit sekunder yang termasuk ke dalam kelompok Flavonoid.
Diperkirakan adanya aroma yang khas dan rasa kelat yang ada dalam tumbuhan
Buas-buas (Premna cordifolia Roxb.)
mengandung senyawa flavonoid tersebut khususnya luteolin dan apigenin. Skrining
kandungan pada buas-buas juga pernah dilakukan oleh Martina (2014), yang
menyatakan bahwa jumlah kandungan apigenin yang merupakan kelompok flavonoid adalah
0.2845 mcg/10 ml; 28,45 mcg/ml.
Saponin terdiri dari
sapogenin yaitu bagian yang bebas dari glikosida yang disebut aglikon. Senyawa
ini mempunyai efek antioksidan dengan membentuk hidroperoksida sebagai
antioksidan sekunder sehingga menghambat pembentukan lipid peroksida. Alkaloid
banyak ditemukan dalam pelarut polar karena golongan senyawa alkaloid yang
berpotensi sebagai antioksidan adalah senyawa-senyawa polar yang akan
terekstraksi pada pelarut yang bersifat polar. Mekanisme alkaloid sebagai
antioksidan adalah dengan cara mendonorkan atom H pada radikal bebas. Mekanisme
ini menunjukkan bahwa alkaloid bekerja sebagai antioksidan primer.
Gambar
2.2 Struktur Kimia Apigenin dan Luteolin pada Tanaman Buas-buas (Premna cordifolia. Roxb)
2.3 DIMETILBENZ (α)
ANTRASENA (DMBA)
Senyawa 7,12 dimetilbenz (α)
antrasena (DMBA) merupakan suatu karsinogen dengan rumus empiris C20H16,
berat molekul 256.34 g/mol, dan titik leleh 122-123oC. Warna bubuk
hidrokarbon poliaromatik (polyaromatic hydrocarbon disingkat PAH) ini
adalah kuning hingga kuning agak kecokelatan dengan sedikit kandungan warna
hijau.
Mekanisme aktivasi DMBA melibatkan
enzim sitokrom P-450 dan atau perioksidase menjadi intermediate reaktif yang
dapat merusak DNA yaitu terbentuknya epoksid dihidrodiol. DMBA mampu
menginduksi terjadinya tumor pada kelenjar mammae tikus betina. DMBA akan
diubah oleh enzim fase I, sitokrom P-450 (CYP) menjadi ultimate carcinogen berupa senyawa epoksida elektrofil yang
merupakan senyawa aktifnya (Irene, 2012).
Gambar 2.3 Struktur Kimia Dimetilbenz
(α) Antrasena (DMBA)
2.4 ANGIOGENESIS TUMOR
Angiogenesis adalah pembentukan pembuluh
darah baru yang berasal dari
pembuluh
darah yang telah ada. Angiogenesis sangat dibutuhkan dalam pembentukan organ baru
serta untuk diferensiasi saat embriogenesis, penyembuhan luka dan fungsi reproduksi
wanita. Angiogenesis dapat dipicu oleh berbagai kondisi patologis, seperti reumatoid
artritis, retinopati diabetik, degenerasi makular, psoriasis dan pertumbuhan
serta metastasis tumor.
Tumor membutuhkan angiogenesis untuk tumbuh di atas
ukuran 1-2 mm. Angiogenesis diperlukan untuk
suplai oksigen, nutrien, faktor pertumbuhan dan hormon, enzim proteolitik,
mempengaruhi faktor hemostatik yang mengontrol koagulasi dan sistem
fibrinolitik, dan penyebaran sel-sel tumor ke tempat jauh.
Angiogenesis merupakan proses yang sangat kompleks,
yang diregulasi secara ketat oleh faktor-faktor proangiogenik (VEGF) dan faktor-faktor
antiangiogenik. Suatu tumor avaskular bergantung pada difusi pasif untuk suplai
oksigen dan makanan serta untuk pembuangan produk sisa. Hal ini membatasi ukuran
tumor sampai sekitar 2 mm, yang disebut keadaan dorman. Sel-sel tumor yang hipoksik
akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan, termasuk VEGF. Tumor juga memproduksi
inhibitor endogen angiogenesis, seperti TGF. Mulanya inhibitor melebihi faktor
pertumbuhan dan sel endotel tetap diam. Akan tetapi, saat tumor mampu memproduksi
cukup faktor pertumbuhan dan/atau menekan ekspresi inhibitor, akan terjadi
‘angiogenic switch’ menuju proses angiogenesis. ‘Angiogenic switch’ merupakan pertanda
proses malignansi.
Model terkini proses angiogenesis tumor menyarankan
bahwa proses ini melibatkan tumbuhnya tunas pembuluh dari pembuluh darah yang
ada dan menyatunya progenitor endotel menjadi pembuluh vaskular baru. Proses
ini meliputi berbagai kejadian yaitu proliferasi, migrasi dan invasi sel-sel
endotel, organisasi sel-sel endotel menjadi struktur tubular yang fungsional,
maturasi pembuluh, dan regresi pembuluh. Pada jaringan normal, kestabilan
vaskular dipertahankan oleh pengaruh yang dominan dari inhibitor angiogenesis
endogen terhadap stimulus angiogenik, sebaliknya angiogenesis tumor diinduksi
oleh peningkatan sekresi faktor angiogenik dan atau penurunan regulasi inhibitor
angiogenesis
Pada permulaan angiogenesis, stimulus angiogenik yang
diterima menyebabkan sel endotel kapiler sekitar tumor teraktivasi, kontak yang
erat dengan sel sekitar akan menghilang dan mensekresi enzim proteolitik (protease)
yang mempunyai efek mendegradasi jaringan ekstraseluler. Target awal protease
adalah membran dasar. Setelah terdegradasi, sel endotel akan dapat bergerak melalui
gap yang ada pada membran dasar menuju matriks ekstraseluler. Setelah
ekstravasasi,
sel endotel terus mensekresi enzim proteolitik, yang akan mendegradasi matriks
ekstraseluler. Sel endotel terus bergerak menjauhi pembuluh induk menuju tumor,
membentuk tunas kecil. Sel endotel akan bertambah dari pembuluh induk hingga tunas
memanjang. Awalnya tunas-tunas ini bergerak paralel satu sama lain, akan tetapi
pada jarak tertentu dari pembuluh induk, mulai condong menuju tunas lainnya.
Hal ini akan membentuk loop tertutup (anastomose), yang akan memungkinkan
dimulainya sirkulasi pada pembuluh yang baru. Ini merupakan peristiwa penting
dalam pembentukan jaringan vaskular fungsional.
Dalam fase vascular, pada angiogenesis fisiologis,
ketika jaringan target telah tervaskularisasi, ekspresi faktor pertumbuhan angiogenik
akan berkurang. Migrasi, proliferasi dan proteolisis sel-sel endotel akan
berhenti dan pembuluh darah yang baru terbentuk mengalami proses maturasi.
Ikatan yang kuat antar sel distabilkan di endotel dan sel endotel mensekresi
protein (laminin, kolagen) untuk
membentuk
membran dasar. Akhirnya sel-sel penyokong peri endotel (perisit) direkrut dan pembuluh
darah baru menjadi bagian sistem vaskular yang stabil. Proses maturasi biasanya
tidak terjadi pada angiogenesis tumor, karena masih tetap terdapat daerah
hipoksik di dalam tumor yang tetap memproduksi faktor angiogenik. Angiogenesis
akan terus berlangsung dan meningkatkan pertumbuhan
tumor,
yang akan membutuhkan suplai darah baru. Kapiler tumor biasanya tidak matang karena
tidak terbentuknya membran dasar. Pembuluh baru akan berbentuk ireguler, rapuh
dan berliku-liku (Farhat, 2009).
Proses angiogenesis dalam tumor
berlangsung dengan urutan sebagai berikut :
a.
Tumor atau jaringan yang rusak
memproduksi dan melepaskan faktor pertumbuhan angiogenik (protein) yang
kemudian berdifusi ke jaringan sekitar.
b.
Faktor angiogenik tersebut berikatan
dengan reseptor spesifik yang berada pada sel-sel endotel yang berdekatan
dengan pembuluh darah lama.
c.
Setelah faktor angiogenik berikatan
dengan reseptornya sel-sel endotel menjadi aktif. Sinyal-sinyal dikirim dari
permukaan sel ke nukleus. Mesin sel endotel mulai memproduksi molekul-molekul
baru termasuk enzim-enzim.
d.
Enzim mencerna lubang-lubang kecil pada
membrana basalis yang menyelubungi seluruh pembuluh darah yang ada.
e.
Sel-sel endotel mulai berproliferasi dan
kemudian migrasi keluar melalui lubang-lubang pembuluh darah yang telah
tercerna tadi menuju jaringan tumor.
f.
Molekul-molekul spesifik seperti molekul
adhesi atau ontegrin berperan sebagai pengait untuk menarik tunas-tunas
pembuluh darah yang baru untuk menyebar.
g.
Enzim-enzim tambahan matrix
metalloproteinase (MMPs) diproduksi untuk mencernakan jaringan di depan tunas
pembuluh darah sehingga dapat ditempati. Bersamaan dengan perluasan pembuluh
darah, jaringan terbentuk disekitar pembuluh darah.
h.
Tunas-tunas sel-sel endotel tadi
kemudian menggulung untuk membentuk membrana basalis baru yang tumbuh manjadi
lumen pembuluh darah.
i.
Masing-masing lumen pembuluh darah baru
salaing beranastomosis membentuk jaringan pembuluh darah yang berfungsi
mengalirkan darah.
j.
Akhirnya lumen pembuluh-pembuluh darah
baru yang telah terbentuk diperkuat oleh sel-sel otot khusu (sel otot polos,
perisit) yang melengkapo struktur pendukung. Aliran darah kemudian dimulai
(Amin, 2010).
2.5 VEGF (Vascular Endothelial
Growth Factor)
VEGF merupakan suatu glikoprotein
homodimerik dalam tubuh yang mempengaruhi vasopermeabilitas dan angiogenesis.
Awalnya dinyatakan sebagai faktor permeabilitas, berdasarkan kemampuannya untuk
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular. VEGF merupakan mitogenik khusus untuk
sel endotel vaskular. Kadar VEGF dalam tubuh dapat dideteksi pada serum maupun
Plasma.
Kadar VEGF dalam tubuh individu sehat berkisar antara 62-707 pg/ml pada serum
dan 0-115 pg/ml pada plasma (Ni Made, 2014).
VEGF (Vascular
Endothelial Growth Factor), yang merupakan faktor proangiogenik, yang berperan
dalam angiogenesis untuk pertumbuhan tumor, invasi, dan metastase tumor. VEGF
yang secara genetik berhubungan sebagai faktor pertumbuhan angiogenik dan
limfangiogenik terdiri dari 6 glikoprotein yaitu VEGF-A (biasa disebut VEGF),
VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, dan placenta growth factor (PlGF). Ligan VEGF
menengahi efek angiogeniknya melalui reseptor yang berbeda. Dua reseptor diidentifikasi
pada sel endotel dikenal sebagai reseptor tirosin kinase spesifik VEGFR-1
(fmslike tyrosine kinase1/Flt-1) dan VEGFR-2 (KDR/Flk-1). Saat ini VEGFR-3
(fms-like tyrosine kinase 4/Flt-4) telah diidentifikasi dan dihubungkan dengan
proses limfangiogenesis.
VEGF (Vascular
Endothelial Growth Factor) merupakan golongan faktor angiogenik terbaik.
Telah jelas ditemukan bahwa VEGF adalah kekuatan utama di balik angiogenesis tumor
dan pembentukan seluruh pembuluh darah. Tiga aktivitas pokok sel endotel dalam angiogenesis
yaitu sekresi protease, migrasi dan proliferasi. VEGF mampu memicu ketiga proses
tersebut dan bekerja secara spesifik pada sel endotel (VEGFR secara eksklusif terekspresi
pada sel endotel). VEGF juga bertindak sebagai faktor bertahan hidup sel endotel
dengan menghambat apoptosis. Fungsi VEGF pada sel endotel yaitu meningkatkan
permeabilitas vaskular–50.000 kali lebih poten dari histamin. VEGF mengaktivasi
sel endotel dengan efek perubahan morfologi sel endotel, perubahan cytoskeleton,
dan menstimulasi migrasi dan pertumbuhan sel endotel. VEGF bersifat mitogen
terhadap sel endotel yang menyebabkan proliferasi sel. VEGF juga menginduksi
berbagai enzim dan protein yang penting untuk proses degradasi membran dasar,
yang berguna bagi sel endotel untuk migrasi dan invasi yang merupakan tahap penting
pada angiogenesis.
Berbagai mekanisme dapat meregulasi ekspresi VEGF,
yang paling penting adalah hipoksia. Studi menunjukkan hypoxia inducible
factor-1(HIF-1) adalah mediator utama terhadap respon hipoksia tersebut. Berbagai
studi menunjukkan bahwa berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin dapat meregulasi
ekspresi faktor angiogenik pada sel-sel tumor hingga menginduksi angiogenesis secara
tidak langsung, seperti EGFR dan HER2, platelet-derived growth factor (PDGFs)
dan COX-2. Beberapa onkogen berperan dalam regulasi VEGF, seperti c-src, BCR-ABL,
dan ras. Gen supresor tumor p53 berperan penting dalam regulasi VEGF. Perubahan
genetik yang terjadi pada p53 akan meningkatkan ekspresi VEGF (Farhat, 2009).
2.6 TIKUS (Rattus Novergicus) Sprague-Dawley
Tikus SD merupakan jenis tikus yang
umum digunakan dalam penelitian mengenai toksikologi, reproduksi, farmakologi,
dan analisis perilaku. Tikus dengan nama latin Rattus norvegicus ini
merupakan hasil persilangan yang dilakukan Harlan Industries Inc. terhadap
tikus yang berlainan strain sehingga menghasilkan tikus albino (Mediawiki, 2007).
Kelebihannya terletak pada ketenangan dan kemudahan
penanganan. Berat badan tikus jantan berkisar antara 450-520 gr sementara tikus
betina biasanya memiliki berat antara 250-300 gr. Tikus betina pada usia 53-65
hari memiliki berat pada kisaran 150-199 gr. Dalam penelitian karsinogesis,
umur tikus yang digunakan antara 50-60 hari. Hal ini dikarenakan pada umur tersebut,
pengaruh bahan karsinogen terhadap diferensiasi kelenjar payudara paling
optimal. Tikus galur SD ini hanya bergantung pada suplai pakan tikus komersial
sebesar 5 g/ 100 g BB/hari dan pemberian air secara ad libitum (bebas),
sekitar 10-12 mL/100 g BB/hari. Kondisi ideal ruangan untuk pemeliharaan tikus ini
adalah suhu 20-22 C dengan perlakuan 12 jam siklus gelap/terang (Raafqi, 2008).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hendris (2013),
menyatakan bahwa peluang tertinggi terjadinya kanker pada tikus yang berumur 5
minggu dengan pemberian dosis DMBA 17,5 mg/kg BB yaitu sebesar 100%. Sedangkan
peluang terendah kejadian kanker terjadi pada tikus yang berumur 4 minggu
dengan pemberian dosis DMBA sebesar 25 mg/kg BB yaitu sebesar 25%, dan dosis
DMBA yang menginfeksi kanker paling cepat pada 20 mg/kg BB.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam
beberapa tahapan, yakni pemeliharaan tikus, pembuatan ekstrak etanol, pembuatan sediaan histologi, pengamatan
histologi organ reproduksi, pengukuran kadar VEGF (Vascular Endhothelial Growth Factor). Pemeliharaan hewan percobaan
dilakukan di Rumah Hewan FMIPA Universitas Negeri Medan (Unimed). Pembuatan
ekstrak etanol daun buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb) dilakukan di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara (USU). Pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium
Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU kemudian pengamatan histologi
dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Unimed. Pengukuran kadar VEGF di
Laboratorium Kesehatan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2014
s.d. Februari 2015.
3.2. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
tikus putih yang diperoleh dari Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas
Sumatera Utara dan dipelihara di Rumah Hewan FMIPA Universitas Negeri Medan.
Sampel terdiri dari 24 ekor tikus putih betina strain (galur) wistar berusia 2
bulan dengan berat badan rata – rata 110 - 200 gram.
3.3. Alat dan Bahan
3.3.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah timbangan, neraca analitik, botol minuman, kandang pemeliharaan
tikus, sekam, kawat kasa, oral sonde, blender, botol sampel, mortar dan alu,
spatula, kertas saring, corong, kuali, panci,
Automatic Tissue Processor, mikrotom,
permount, mikroskop, jarum spuit, kuvet,
sentrifuge, mikro pipet, spektofotometer microlab 300 (E-Merk), vortex,
mikrotube
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) usia 2 bulan, dimetylbenz
(α) antrasene (DMBA), CMC (Carboxy Methyl Cellulose), detoxifer (2% Na2S2O3 dan K2HPO4),
NaCl fisiologis, Xylol, Etanol 100%, PFA 4%, Akuades, PBS pH 4,4, Hydrogen
Peroksida, SA-HRP, DAB, Mayer Hematoxyler, BSA 1%, Entellan, Kloroform,
VEGF kit.
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Persiapan dan
Pengadaan Tikus
Kandang
yang akan disediakan terbuat dari bahan plastik berbentuk persegi panjang. Jumlah kandang yang digunakan dalam
penelitian sebanyak 24 buah berukuran 40 x 20 x 15 cm. Setiap kandang tikus dihuni
oleh 1 ekor tikus betina. Kandang diberi penutup berupa kawat kasa untuk
mencegah tikus agar tidak keluar dari kandang dan diberi batu diatasnya untuk
menguatkan kandang. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan terbuat dari kendi
dan botol minuman dari bahan plastik. Kandang diberi alas sekam dari serbuk
kayu untuk menyerap air seni dan kotoran tikus yang diganti setiap hari.
Kandang –kandang disusun dalam rak bertingkat.
Tikus
yang digunakan diperoleh dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
sebanyak 24 ekor berumur 2 bulan dengan berat badan berkisar 110-200 g. Selama
masa penelitian, tikus dipelihara di Rumah Hewan FMIPA Universitas Negeri
Medan.
3.4.2 Aklimatisasi Tikus Putih
Aklimatisasi
dalam penelitian dilakukan selama 7 hari sebelum memulai perlakuan. Tikus
diletakkan di dalam kandang dan diberi sekam kayu dengan ketebalan 0,5 cm – 1
cm yang diganti setiap hari agar kandang tetap bersih. Tikus putih diberi makan
dengan pelet jenis PC 202 C dan minum secara ad libitum setiap hari. Komposisi pakan per 50 kg bahan yaitu:
jagung kuning, bungkil kacang kedelai, tepung daging dan tulang, dedak padi,
gandum pollard, batu lemon, dicalcium pospat, vitamin, mineral, dan
anti-oksidan. Pakan dan air diberi selama proses aklimatisasi. Tikus diberi
makan dan minum sekitar pukul 08.00 WIB pagi setiap hari. Selama aklimatisasi
tikus diberi air dalam botol minuman 60 ml/ ekor dan pakan sebanyak 10 g/ekor
yang ditempatkan pada tempat pakan yang disediakan dalam setiap kandang. Sisa
konsumsi air dan pakan ditimbang setiap hari pada masa aklimatisasi dan
perlakuan.
3.4.3 Pembuatan dan Penentuan Dosis
Pemberian Ekstrak Etanol Daun Buas-buas (Premna
cordifolia. Roxb)
Berikut
uraian prosedur pembuatan ekstrak daun buas-buas dengan metode maserasi
(Yohana, 2015) :
1.
Daun buas-buas segar sebanyak 30 kg dibersihkan
dengan menggunakan air bersih. Setelah pencucian, daun buas-buas diletakkan di
atas kertas perkamen untuk dikeringkan di dalam lemari tertutup yang dilengkapi
dengan bola lampu dengan daya 40 watt.
Pengeringan dilakukan selama selama 5 hari sampai daun berubah warna
menjadi coklat dan teksturnya renyah seperti kerupuk.
2.
Dari 30 kg daun segar diperoleh daun kering sebanyak
2,75 kg. Daun kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender sampai berbentuk serbuk (simplisia).
3.
Simplisia sebanyak 1 kg dimasukkan ke dalam
panci stainless. Kemudian ke dalam
panci ditambahkan etanol 96% dengan perbandingan 1 : 10, yaitu 1 kg simplisia
direndam dalam 10 L etanol. Simplisia yang sudah direndam, ditutup rapat
menggunakan aluminium foil, dan diaduk sekali dalam dua hari.
4.
Setelah lima hari proses maserasi, simplisia
dipisahkan dari etanol dengan menggunakan saringan kelapa. Setelah itu,
dilakukan penyaringan kembali menggunakan kertas saring hingga diperoleh sari
etanol dan kandungan kimia (sari) daun bangunbangun. Penyaringan dilakukan
beberapa kali untuk mencegah partikel simplisia yang halus turut diekstrak.
5.
Untuk memperoleh ekstrak etanol buas-buas, sari
etanol kemudian dipekatkan dengan menggunakan kuali yang diletakkan di atas
tungku pemanas (kompor gas). Tujuan dari proses ini adalah untuk menghilangkan
atau menguapkan etanol, sehingga diperoleh ekstrak murni yang pekat (prinsip waterbath).
Untuk membuat larutan
ekstrak daun buas-buas dilakukan dengan cara mencampurkan 5 g ekstrak daun
buas-buas ke dalam pelarut CMC 1% sebanyak 25 ml.
CMC adalah adalah turunan
dari selulosa yang sering dipakai dalam industri pangan dan digunakan dalam
bahanmakanan untuk mencegah terjadinya retrogradasi. Carboxymethyl Cellulose atau CMC berfungsi sebagai pengental,
penstabil emulsi atau suspensi dan bahan pengikat. CMC dapat membentuk sistem
dispersi koloid dan meningkatkan viskositas sehingga partikel-partikel yang
tersuspensi akan tertangkap dalam sistem tersebut dan tidak mengendap oleh
pengaruh gaya gravitasi.
Berikut cara pembuatan CMC 1% adalah
:
1. Menimbang
bubuk CMC sebanyak 0,5 g kemudian memasukkannya ke dalam beaker glass.
2. Menambahkan
akuades ke dalam beaker glass yang
berisi 0,5 g CMC hingga volume larutan mencapai 50 ml. Kemudian memanaskan larutan dengan
menggunakan hot plate sambil mengaduk
larutan sampai serbuk CMC larutan di dalam akuades.
3. Setelah
itu mendinginkan larutan CMC 1% terlebih dahulu sebelum diberikan secara oral kepada
tikus.
Dosis ekstrak etanol daun
buas-buas yang digunakan oleh Martina (2014) adalah 250 mg/kg bb. Maka modifikasi
yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan penelitian oleh Kristina (2014)
adalah Ao sebagai control (Tanpa pemberian DMBA dan Etanol daun
buas-buas), A1 (DMBA), A2 (DMBA + 200 mg/kg BB) , A3 (DMBA + 400 mg/kg
BB) yang diberikan pasca pencekokan DMBA
selama 4 minggu pengamatan.
Diketahui
berat badan tikus 200 g dan diberikan perlakuan ekstrak daun buas-buas 200
mg/kg bb. Maka jumlah ekstrak daun buas-buas yang diberikan secara oral adalah
:
3.4.4 Penentuan Dosis DMBA
Penelitian yang dilakukan oleh
Hendris (2013) menyatakan bahwa peluang tertinggi kejadian kanker terjadi pada
tikus yang berumur 5 minggu dengan pemberian dosis DMBA 17,5 mg/kg BB yaitu
sebesar 100%, dan pemberian DMBA yang paling cepat dapat menginfeksi tikus pada
dosis 20,0 mg/kg BB. Maka dalam penelitian ini digunakan dosis DMBA adalah 20,0
mg/kg BB secara kontinyu 2 kali seminggu (senin dan kamis) selama 5 minggu. Maka
perhitungan volume DMBA (ml) adalah :
Dosis
DMBA yang digunakan = 20 mg/kg BB = 0,02 mg/g BB
Volume DMBA yang
dibutuhkan =
Misalkan volume maksimal DMBA yang dipejankan adalah 1 ml dan BB
tikus = 200 gram maka Konsentrasi =
Volume
DMBA yang dibutuhkan (V) =
DMBA
yang dibutuhkan = konsentrasi x V total
= 4 mg/ml x V total (ml)
Kemudian
melarutkan DMBA kedalam corn oil (minyak jagung), dan dihomogenkan dengan
vortex selama 15 menit.
3.5 Perlakuan
Perlakuan dalam penelitian ini
terdiri dari perlakuan kuratif (penyembuhan). Lama perlakuan penelitian ini
untuk pencekokan DMBA dengan pemberian DMBA selama 2 kali dalam seminggu secara
kontinyu selama 5 minggu. Dan pemberian untuk perlakuan 1 sebagai control
(tanpa pemberian DMBA dan tanpa pemberian ekstrak etanol buas-buas), perlakuan
2 dengan pemberian DMBA selama 5 minggu (tanpa ada pemberian ekstrak etanol
buas-buas), perlakuan 3 dengan pemberian DMBA selama 5 minggu dan pemberian
ektrak etanol buas-buas selama 4 minggu dengan dosis 200 mg/kg BB, perlakuan 4 dengan
pemberian DMBA selama 5 minggu dan pemberian ektrak etanol buas-buas selama 4
minggu dengan dosis 400 mg/kg BB.
3.6 Variabel Penelitian
3.6.1 Variabel Bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah ekstrak etanol buas-buas dengan dosis bertaraf 200 dan 400 mg/kg BB.
3.6.2 Variabel Terikat
Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah berat badan, berat kelenjar mammae dan
ovarium, posisi nodul, jumlah nodul, volume nodul, kadar VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor),
serta histologi kelenjar mammae dan ovarium.
3.6 Parameter
Penelitian
3.6.1 Pengukuran Berat
Badan
Berat badan tikus diukur dengan
menggunakan timbangan OHAUS dengan ketelitian 0.1 gram. Berat badan tikus
ditimbang setiap hari. Prosedur pengukuran berat tikus dilakukan dengan
memasukkan tikus ke dalam kotak timbangan yang telah dikalibrasi agar tidak
bergerak berlebihan kemudian menimbang tikus. Berat badan yang dipakai untuk
perhitungan statistik dalam penelitian ini diperoleh dengan mengurangkan berat
badan pada akhir penelitian (hari ke-63) dengan berat badan pada awal perlakuan
(hari pertama).
3.6.2 Pengukuran Berat
Kelenjar Mammae dan Ovarium
Berat kelenjar mammae dan
ovarium tikus ditimbang dengan menggunakan timbangan digital Tanika. Kelenjar
mammae dan ovarium diperoleh dengan melakukan pembedahan terlebih dahulu.
Kelenjar mammae dan ovarium diangkat dan diletakkan diatas tisu kemudian
ditimbang. Dan kelenjar mammae serta
ovarium dimasukkan ke dalam formalin 10% dan disimpan ditempat yang kering
untuk selanjutnya dipakai dalam pembuatan preparat histopatolgis.
3.6.3 Pengukuran Kadar VEGF (Vascular
Endothelial Growth Factor)
Pengambilan
sampel darah tikus pada bagian ekor, ujung ekor digunting sedikit, ekor
dimasukkan microtube dan ditekan-tekan sampai keluar darah, microtube
dimiringkan dan disentrifuge. Dan mengambil bagian serum menggunakan mikropipet
dan dipindahkan ke mikrotube baru, dan disimpan di lemari pendingin.
Pengukuran
kadar VEGF serum dan plasma dengan
metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) KIT serta hasilnya dibaca dengan microplate reader, yang akan
dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Sumatera Utara.
3.6.4 Pembuatan Sediaan Histologis Kelenjar Mammae dan Ovarium
Kelenjar mammae dan ovarium disimpan
dalam larutan formalin 10% untuk pembuatan sediaan histologis yang dilakukan di
Laboratorium Anatomi dan Patologi Fakultas Kedokteran USU.
3.6.5 Pengamatan
Sediaan Histopatologi Kelenjar Mammae dan Ovarium
Pengamatan pada
sediaan hati dilakukan secara mikroskopis dengan menggunakan bantuan mikroskop
ZEISS. Pengamatan histologi kelenjar mammae dan ovarium tikus dilakukan
pewarnaan Haematoxylin dan Eosin di Laborarorium Biologi Universitas
Negeri Medan.
3.7 Rancangan Percobaan
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental menggunakan rancangan acak lengakap (RAL) Non Faktorial.
Penelitian ini memiliki 4 perlakuan yakni kontrol, DMBA, DMBA + 200 mg/kg BB
ekstrak etanol buas-buas, DMBA + 400 mg/kg BB ekstrak etanol buas-buas. Setiap
perlakuan memiliki ulangan sebanyak 6 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis
dengan analisis varians (ANAVA) pada taraf signifikan α = 0,05.
Untuk mendapatkan banyaknya ulangan dihitung dengan
rumus berikut :
(t-1) (n-1) ≥ 15
(4-1) (n-1) ≥ 15
3(n - 1) ≥
15
3n - 3 ≥
15
3n ≥
15 + 3
3n ≥
18
n ≥
6
Rancangan percobaan dapat ditulis
dengan model sebagai berikut:
Yij =
Dimana :
Yij = nilai
pengamatan pada perlakuan ke I, ulangan ke-j
µ = nilai tengah umum
εij = galat percobaan dari
perlakuan ke –I pada ulangan
βj = pengaruh dari perlakuan ke – j
γi = pengaruh perlakuan ke- i
3.8 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
analisis varians (ANAVA) satu arah dengan taraf signifikan α = 0,05. Kemudian
hasil yang diperoleh dilanjutkan dengan
uji Least Significant Difference (LSD)
atau beda nyata terkecil (BNT) untuk melihat signifikansi hasil yang diperoleh
dan perbandingannya terhadap tiap perlakuan. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan softwareStatistical Product
and Service Solutions (SPSS) versi 17,0.
Komentar
Posting Komentar