MAKALAH PEWARNAAN DAN PEMBAGIAN ZAT

Makalah Mikroteknik

PEWARNAAN DAN PEMBAGIAN ZAT WARNA

Logo Unimed-FMIPA.gif

Disusun Oleh :

Buana Hijrah Gurning
Eta Rinayanta Brutu
Heka Citra Dewi Br. Tarigan
Yuli Hardiyanti


Biologi Nondik A 2012

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Medan
2014

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kami nikmat Iman, kesehatan, serta keselamatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dari mata kuliah Mikroteknik yang berjudul “Pewarnaan dan Pembagian Zat Warna”.
            Makalah ini berisi 3 bab yakni bab 1 berupa pendahuluan yang merupakan uraian gambaran umum dari pewarnaan. Bab 2 berupa pembahasan dari pengertian pewarnaan dan zat warna beserta pembagiannya. Dan bab 3 berupa kesimpulan yang berupa ringkasan dari pembahasan.
            Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan 



Medan, 9 Maret 2014


       Penulis






DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR                                                                                     i
DAFTAR ISI                                                                                                     ii
BAB I  PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang                                                                                        1
1.2 Rumusan Masalah                                                                                   1
1.3 Tujuan                                                                                                     1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Tujuan Pewarnaan                                                          2     
2.2 Zat Warna dan Pembagian                                                                      3
   2.2.1 Berdasarkan Sifat                                                                              3
   2.2.2 Berdasarkan Asal                                                                              3
   2.2.3 Berdasarkan Kemampuan Mewarnai Tissue                                     4
   2.2.4 Berdasarkan Jumlah Komposisi                                                        5
   2.2.5 Berdasarkan Pengaruh Zat Warna                                                    5
   2.2.6 Berdasarkan Pemberian Zat Warna                                                   5
   2.2.7 Berdasarkan Tingkat Ketebalan Zat Warna                                      6
   2.2.8 Berdasarkan Struktur Kimia Zat Warna                                           6
2.3 Aplikasi Pewarnaan dalam Histopatologi                                               9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan                                                                                             12
DAFTAR PUSTAKA                                                                                      13








BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Dalam pembuatan preparat, salah satu hal yang paling dibutuhkan yakni tahapan pewarnaan yakni berupa pemberian zat pewarna pada suatu sel atau objek praktikum dengan suatu zat pewarna khusus. Pada dasarnya dan sejauh ini, teknik pewarnaan yang biasanya dilakukan hanya setelah tissue telah dalam keadaan mati, Namun hal ini tidak sepenuhnya bisa dilakukan, tergantung tissue bagian apa yang mau diamati. Dalam pemilihan zat warna yang digunakan juga tidak boleh sembarangan, karena semua zat warna akan dibagi dalam beberapa klasifikasi secara umum. Dan secara umum, dalam ilmu Histopatologi zat warna yang digunakan dalam tahap pewarnaan tissue adalah hematoksilin dan eosin. Untuk itu, kami membuat makalah ini untuk dapat dijadikan bahan ajar untuk kita semua dalam memahami tahapan pembuatan preparat terkhusus teknik pewarnaannya.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana yang dimaksud dengan pewarnaan?
2.      Bagaimana tujuan dari pewarnaan untuk suatu tissue?
3.      Bagiamana pembagian zat warna berdasarkan klasifikasinya?
4.      Bagaimana implementasi zat warna untuk Histopatologi?

1.3 Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dari pewarnaan.
2.      Mengetahui tujuan dari pewarnaan untuk suatu tissue (jaringan).
3.      Mengetahui pembagian zat warna berdasarkan klasifikasinya.
4.      Mengetahui implementasi zat warna untuk Histopatologi.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN DAN TUJUAN PEWARNAAN
            Pewarnaan atau biasa yang disebut Staining merupakan Suatu pemberian zat pewarna pada suatu sel atau objek praktikum dengan suatu zat pewarna khusus. Pada dasarnya pewarnaan memiliki ruangan khusus, yang tersedia beberapa peralatan khusus dalam pewarnaan seperti staining dishes. Wadah tersebut dapat diisi gelas-gelas preparat secara miring-mendatar atau miring-tegak sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan, dengan catatan bahwa wadah-wadah tersebut cukup besar untuk memuat cairan yang digunakan selama proses pewarnaan dilaksanakan.
            Pewarna merupakan senyawa berwarna yang dapat berikatan dengan substrat dan digunakan untuk mempelajari morfologi, struktur dan berbagai komponen jaringan melalui proses pewarnaan.
            Proses pewarnana berfungsi untuk melindungi jaringan dari berbagai macam faktor yang bersifat merusak jaringan seperti fisik, kimia, maupun biologi. Pewarnaan ada dua jenis yaitu pewarna umum dan pewarna khusus, salah satu pewarna khusus yaitu pewarna dengan menggunakan Periodic Acid Schiff (PAS).
Pewarnaan dibedakan atas dua yaitu:
v  Pewarnaan non vital
Pewarnaan dilakukan setelah tisu mati melalui fiksasi. Teknik ini merupakan teknik atau cara yang paling lazim dilakukan, terutama untuk pekerjaan rutin sehari-hari, termasuk pembuatan preparat atau sediaan praktikum bagi mahasiswa.
v  Pewarnaan vital
Prpses pewarnaan dilakukan selagi tisu/sel masih dalam keadaan hidup. Sel-sel yang masih hidup tersebut diharapkan mampu untuk menyerap warna mapun mengikat/memfagosit psrtikel-partikel zat warna.


2.2 ZAT WARNA DAN PEMBAGIANNYA
Zat Warna
            Dalam arti yang luas. Zat warna mencakup bahan organik maupun anorganik yang mengadakan ikatan dengan tisu sehingga tisu tampak lebih jelas untuk diamati. Ditinjau dari berbagai segi, maka zat warna dapat dibedakan atau diklompokkan pada kategori-kategori tertentu. Berikut ini adalah pembagian zat warna berdasarkan berbagai kategori tersebut.

2.2.1 Berdasarkan Sifat
Berdasarkan sifatnya zat warna dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Zat warna asam
Garam-garam dari asam-asam pembawa warna dengan radikal basa tidak mewarnai.
Contoh: acid fuchsin, dan eosin.
b. Zat warna basa
Berupa garam-garam dari basa pembawa warna dengan radikal asam yang tidak berwarna. Zat warna basa: sebagian adalah adaiah khlorida atau sulfat basa organik.

2.2.2 Berdasarkan Asal       
a.      Zat Warna Alami
Berupa zat-zat warna yang diperoleh dari alam, baik dari tumbuhan maupun hewan.

Hernatoxilin, adalah zat warna berasal dari tumbuhan (Hematoxylin camphecianum), sedangkan carmie adalah zat warna yang berasal dari hewan Coccus cacti betina. Coccus cacti ini bukan bakteri coccus, melainkan sejenis serangga yang hidup pada tanaman Cactus opuntia coccinel lifera.


b.      Zat warna sintesis
Mencakup jenis-jenis zat warna yang dibuat pabrik. Contoh: basic fuchsin, dibuat dari campuran aniline dan paratoluidin.

2.2.3 Berdasarkan Kemampuan Mewarnai Tissue
a. Zat Warna Substansif
Jenis warna yang mampu mewarnai tisu secara langsung.  Contoh: janus green B, neutral red.
b. Zat Warna Ajektif
Jenis zat warna yang pada penggunaannya, agar mampu mewarnai tisu harus dengan bantuan mordan. Contoh Hernatoksilin dari formula ehrlich. Pada formula tersebut diberikan pula kalium aluminium secara berlebihan. Fungsi sluminium kalium tersebut adalah sebagi mordan.

Mordan merupakan substansi yang memungkinkan terjadinya reaksi pewarnaan. Mordan berasal dari bahasa latin”mordere” yang berarti menggigit. Diharapkan bahwa dengan bantuan mordan zat warna akan menggigit atau mengikatkan dirinya pada tisu yang diwarnai tersebut. Sebagian besar zat warna yang bias digunakan utuk mikroteknik akan mewarnai lebih kuat mengikatkan diri pada salah satu jeis elemen tisu, sehingga bias ditelaah dengan lebih teliti.

2.2.4 Berdasarkan Jumlah Komposisi
a.       Pewarnaan tunggal(single staining)
Hanya menggunakan satu jenis zat warna. Contoh: untuk melihat adanya polysaccharide sulphate ester serta hyaluronic acid, maka digunakan zat warna tunggal Gentian violet.
b.      Pewarnaan ganda/rangkap(double staining)
Mengunakan dua jenis zat warna. Contoh pada system pewarnaan hernatoksilin-eosin.

c.       Pewarnaan rangkap tiga(triple staining)
Menggunakan tiga jenis zat warna. Contoh formula Marllory triple stain. Formula tersebut menggunakan zat-zat warna acid fuchsin, aniline blue, serta orange G.
d.      Pewarnaan rangkap empat
Jarang digunakan dalam kerja rutin. Kecuali untuk tujuan khusus.

2.2.5 Berdasarkan Pengaruh Zat Warna  
a.       Pewarnaan efektif
Zat warna yang digunakan hanya efektif terhadap salah satu elemen tisu atau lebih.  Contoh : pewarna toluidin blue yang hanya akan mewarnai mast-sel dari tisu jnesetrium.
b.      Pewarnaan difus
Zat warna yang diberikan akan mewarnai seluruh bagian tisu. Peelaahan dapat dilakuka karena setiap bagia tisu akan menyerap warna dengan intensitas yang berbeda karena daya penyerapan yang berbeda. Hampir semua zat warna memberikan efek pewarnaan difus.

2.2.6 Berdasarkan Pemberian Zat Warna 
a.       Pewarnaan Simultan
Berupa teknik pewarnaan dengan menggunakan dua atau lebih zat warna secara bersama dalam waktu yang sama.
Contoh : Pewarna Mallory yang mengandung dua jenis zat warna yang terdiri dari aniline blue dan orange G yang bekerja dalam waktu yang sama.
b.      Pewarnaan Subseden
Berupa teknik pewarnaan yang menggunakan dua atau lebih zat warna yang pemberian dan penggunaaanya dilakukan dengan cara waktu yang berbeda.
Contoh : Hematoxilin dan Eosin, kedua zat ini digunakan dalam waktu yang berbeda serta pencucian yang berbeda pula.

2.2.7 Berdasarkan Tingkat Ketebalan Zat Warna
a. Pewarnaan progresif
Pada teknik pewarnaan progresif ini, zat warna diberikan pada tisu secara tipis. Warna yang ideal mungkin sekali diperoleh denga memakan waktu yang cukup lama.
b. Pewarnaan regresif
Cara pewaraan dengan keadaan sedemikia rupa sehingga tisu tampak mengambil warna tebal sekali. Warna yang ideal dapat diperoleh dengan proses diferensiasi.

Diferensiasi adalah proses penipisan pewarnaan yang semula tampak tebal sekali melalui proses pemucatan sehingga aka di hasilkan pewarnaan yang ideal.

2.2.8 Berdasarkan Struktur Kimia Zat Warna
Berdasarkan struktur kimianya zat warna biasanya di kelompokkan menjadi 6 kelompok:
a. Kelompok Trifenil Metan
Menyerupai derivat metan yang dasar molekulnya terdiri dari metan yang 3 atom hidrogennya telah di gantikan oleh 3 cincin fenil. Trifenil dapat di golongkan kedalam 2 kelompok berdasarkan kadar asam dan basanya. Trifenil metan  bersifat basa.
Contoh : basic fuchsin, dahlia ( horfman violet ), crystal violet , methyl violet, methyl green dan anillin blue.  Golongan ini umumnya mewarnai kromatin/nuklei. Trifenil bersifat asam  Contoh : acid fuchsin, light green, fast green, dan methyl blue. Golongan ini umumnya mewarnai sitoplasma.

b. Kelompok Xhantene
Kelompok dengan molekul yang mempunyai cincin quinonoid yang di tautkan pada cincin non-quinonoid melalui atom – atom edan O.
Contoh : Eosin Y
Eosin Y merupakan zat warna yang bersifat asam. Umumnya digunakan sebagai counterstain bagi hematoksilin dari formula ehrlich dan Mayer. Zat warna ini mewarnai sitoplasma dan digunakan dalam konsentrasi rendah ( bila konsentrasi tinggi, mampu mengahapus zat warna basa yang telah di gunakan sebelumnya ). Sebagai counterstain, zat warna ini di larutkan dalam alkohol 70 %, dalam keadaan biasa cukup sebagai larutan 0,1 dalam air. Zat warna yang bersifat berpendar ( fluorecent ) karena mengandung atom Brom  (Br). Bila mengandung 4 atom Brom maka dikenal dengan tetrabromofluorecent yang biasa digunakan untuk mewarnai eritrosit dan otot yang akan terpulas kuat sedangkan serat – serat kolagen yang juga terwarnai hanya akan terpulas lemah. Zat warna kelompok Xhantene yang bersifat basa antara lain adalah pironin. Pirunin banyak di manfaatkan dalam Sitologi untuk mewarnai plasmosoma nukleus.

c. Kelompok Thiazin
Zat warna dengan molekul yang berisi cicin quinonoid dan non-quinonoid yang di hubungkan oleh atom N dan S.
Contoh: thionine.
Umumnya digunakan dalam sitologi untuk mewarnai kromatin dan dalam bidang indutri dipakai untuk mewarnai bahan katun. Walau bersifat cepat pudar, zat warna ini sama halnya dengan toludine blue yang akan terlihat bahwa kromatin akan berwarna biru. Sedangkan mucus, substansi dasar tulang rawan dan granula dari mastsel akan berwarna merah.
Contoh lain adalah Methylen blue
Methylen blue merupakan salah satu pewarna dari kelompok thiazin yang bersifat basa dan biasa digunakan untuk pewarnaan darah. Berlainan dengan zat warna thionin yang bersifat metakromatis, maka zat warna Methylene blue  bersifat polikromatis, yaitu zat warna yang mampu berubah menjadi zat warna lai secara spontan.


d. Kelompok Azine
Zat warna dengan cincin orthoquinonoid yang dengan bantuan 2 atom N di hubungkan dengan bentuk cincin lainnya.
Contoh: safranin
Safranin merupakan zat warna yang kemampuan pewarnaannya akan sangat baik bila tisu terlebih dahulu difiksasi dengan larutan fleming. Zat warna ini diberikan secara berlebihan untuk kemudian mengalami diferensiasi (bersifat regresif), warna yang tertinggal pada sitoplasma akan berwarna merah. Pewarnaan ini bersifat basa.
            Zat warna basa lainnya adalah:
o   Neutral red
Untuk  pewarnaan sel hidup, daya penetrasinya cepat dan mudah, berafinitas tinggi terhadap vacuola golgi dan non-toksik.
o   Janus green B
Zat vital dengan molekul berchromophure azine dan azo secara bersama. Berafinitas tinggi terhadap mitokondria. Kedua zat warna ini biasanya digunakan dalam sitologi dan sitogenetika.
Zat warna Kelompok azine yang bersifat asam adalah indulin dan nigrosin yang juga digunakan dalam mikroteknik.

e. Kelompok Azo
Zat warna dengan molekul berantai quinonoid yang berkromofore +N – N-. Bila hanya ada satu kromofore demikian dinamakan monoazo. Bila 2 kromofore yang tidak ada dinamakan diazodan yang tiga disebut triazo.
Contoh monoazo: Orange G yang bersifat asam.
Contoh diazo: Biebrich scarlet yang juga bersifat asam
Contoh untuk triazo: Choral black E yang juga bersifatasam

Azo yang bersifat asam umumnya digunakan sebagai counterstain seperti asam:  Monoazo:  Orange G, kromofore-R, xylidine ponceau, Bordeaux red.
Diazo      : Blebrich scarlet
Azo bersifat asam yang umum dipakai untuk mempelajari sel-sel dari sistem reticule-endothelial antara lain trypan blue, Trypan blue , trypan red, vital red serta choral red.
Azo bersifat basa antara lain adlah jannus green b da bismarch brown y, yang biasa digunakan dalam sitologi.

f. Kelompok Nitro
Zat – zat warna yang berchromophore
Contoh: asam pikrat ( picrit acid ) yang berfungsi rangkap sebagai pewarna dan fiksatif, bahkan juga menangkap sebagai diferensiator, dalam mikroteknik banyak dipakai sebagai counterstain bagi zat warna carnine.

2.3 APLIKASI PEWARNAAN DALAM HISTOPATOLOGI
            Untuk pewarnaan dalam histopatologi, biasanya digunakan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Dan pada teknik pewarnaan yang baku akan didapat keseimbangan warna antara Hematoksilin yang berwarna biru dan Eosin yang berwarna merah.

Pembuatan Larutan hematoksilin
Timbang serbuk hematoksilin I gram, potasium aluminium sulfat sebanyak 50 gram dan sodium iodate ( Na 103 ) sebanyak 0,2 gram dilarutkan dalam 1 liter akuades menggunakan alat pengaduk (stirer) dengan sedikit dipanaskan, kemudian disimpan satu malam dalam temperatur ruangan. Keesokkan harinya larutan tersebut ditambahkan asam sitrat (C6H807) sebanyak 50 gram dan chloral hydrate (CZH3CL30Z) sebanyak 50 gram. Larutan dipanaskan dan diaduk selama 5 menit, kemudian didinginkan dan disaring . Larutan akan stabil selama 1- 2 tahun dalam botol berwama gelap pada temperatur ruangan.

Pembuatan Larutan Eosin
            Timbang serbuk eosin Y sebanyak 7,5 gram, erythrosin sebanyak 7,5 gram dan calcium chlorida sebanyak 2,5 gram dilarutkan dalam akuades 1 liter kemudian disaring . Larutan akan stabil selama 6 - 12 bulan dalam botol gelap pada temperatur ruangan.      

Proses Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin
Preparat yang akan diwarnai diletakkan pada rak khusus clan dicelupkan secara berurutan ke dalam larutan dengan waktu sebagai berikut
·         Xylol 3 menit
·         Xylol 3 menit
·         Ethanol absolute 3 menit
·         Ethanol absolute 3 menit
·         Ethanol 90% 3 menit
·         Ethanol 80% 3 menit
·         Bilas dengan air keran 1 menit
·         Larutan hematoksilin 6-7 menit
·         Bilas dengan air keran 1 menit
·         Larutan pembiru 1 menit
·         Air keran 1 menit
·         Larutan eosin 1 - 5 menit
·          Bilas dengan air keran 1 menit

Preparat diangkat satu persatu dari larutan xylol dalam keadaan basah, diberi satu tetes cairan perekat ( DPX ) dan selanjutnya ditutup dengan kaca penutup.

Adapun cara lain dalam proses pewarnaan yakni :
ü  Inkubasi dalam larutan hematoxylin Mayer selama 5 menit yang bertujuan untuk mewarnai bagian inti sel menjadi warna biru,kecuali cytoplasma
ü  Cuci dalam air mengalir selama 5 menit;
ü  Masukan dalam larutan eosin working solution selama 3 menit dan bilas dengan air.
ü  Dehidrasi dalam serial alkohol dengan gradasi meningkat dengan cara dicelupkan (70%,80%,90%,100%)
ü  Inkubasi dalam xylol 2x2 menit untuk menghilangkan air
ü  Dilap dengan tissue kering dengan hati hati. Jangan sampai mengenai jaringannya.

























BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Berdasarkan pemaparan dari pembahasan di bab sebelumnya, maka kami menyimpulkan bahwa :
1.      Pewarna merupakan senyawa berwarna yang dapat berikatan dengan substrat dan digunakan untuk mempelajari morfologi, struktur dan berbagai komponen jaringan melalui proses pewarnaan.
2.      Proses pewarnana berfungsi untuk melindungi jaringan dari berbagai macam faktor yang bersifat merusak jaringan seperti fisik, kimia, maupun biologi.
3.      Pembagian dari pewarnaan yakni :
Pewarnaan non vital
Pewarnaan dilakukan setelah tisu mati melalui fiksasi.
Pewarnaan vital
Proses pewarnaan dilakukan selagi tisu/sel masih dalam keadaan hidup.
4.      Pewarnaan dalam histopatologi, biasanya digunakan pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Dan pada teknik pewarnaan yang baku akan didapat keseimbangan warna antara Hematoksilin yang berwarna biru dan Eosin yang berwarna merah.















DAFTAR PUSTAKA

Gunarso, Wisnu. 2014. Mikroteknik. Bogor : IPB
Fitri, Yulia Djaribun. 2012. Laporan Praktek Laboratorium Histoteknik Tissue
Processing dan Pewarnaan. Bogor : IPB
Muntha, Mohammad. 2001. Teknik Pembuatan Preparat Histopatologi dari Jaringan
Hewan dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (H & E). Bogor : Balai
Penelitian Veteriner
Safrida. 2012. Deteksi Karbohidrat Netral pada Ovarium dan Uterus Tikus Putih
dengan Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS). Volume 4, Nomor 1, Halaman
36 – 40.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN GENETIKA ALEL DAN GEN GANDA

LAPORAN MONOHIBRID DAN DIHIBRID

LAPORAN OKULASI